Jumat, 29 Agustus 2008

BUKIK CINTUAK


Nama puncak sebuah bukit yang terletak di Kenagarian Tujuah Koto, Kecamatan Guguak, Kab. Limapuluh Kota, Provinsi Sumbar, Indonesia. Tepatnya berada di hadapan jembatan yang menyeberangi Batang ( Sungai ) " NA MA "; bernama " Tanjuang Ipuah".

Bukit ini tepat berada diantara dua jorong yakni Jorong Padang Kandih di Timur dan jorong Sipingai di Barat. Sementara sebuah puncak yang berada di sebelah Utara dikenal dengan puncak bukik "Rao".
Konon pada kedua puncak bukit ini dulunya menjadi Benteng pertahanan Pasukan Imam Bonjol yang diekandalikan dua orang panglima perangnya, yakni Sentot Ali Basya ( benteng "cintuak" ) cintuak- pengucapan atas kata Sentot. Sedangkan yang satu lagi benteng yang dikendalikan Tuanku Rao, menjadi benteng Rao.

PDRI 59 Tahun






"Apa jadinya Republik, jika PDRI tidak ada.

Apa jadinya Republik , jika Sjafrudin tidak mau kembali ke Jogya, apa jadinya negara kita ini ? " ungkap Halim dalam pertemuan malam hari di rumah Kak Jawa di Padang Japang malam tanggal 6 Juli 1949 tersebut ( Ismail " Hasan Hari Terakhir PDRI"26- 2002)


Malam tanggal 6/7 Juli 1949 di rumah isteri H. Mahmud Yunus bernama Jawahir, di kampuang suku Sikumbang Padang Japang berlangsung perundingan yang sangat serius, tegang, harap dan cemas (alot) antara Ketua Pemerintah Darurat Republik Indonesia ( Presiden PDRI ) Sjafruddin Prawiranegara dengan utusan Presiden RI Soekarno; yakni Moh. Natsir, dr J.leimena, dr.Halim dan Agus Yaman dan kawan-kawan dari Yogyakarta ( bukan delegasi Bangka).
Yang dibicarakan adalah tentang pengembalian "mandat Pemerintah RI" dari PDRI ke Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh.Hatta yang sudah kembali ke Yogyakarta setelah dibebaskan dari tawanan Belanda di Pulau Bangka.
Rombongan dari Yogya ini disambut di bata garis tempur Belanda dan PDRI di nagari Guguak , yang datang menjemput antara lain Suska, Djir Muhammad, Kol.Adam dan Kol Sujono.
Ketegangan adalah perbedaan pandangan antara kelompok PDRI yang diketuai Sjafruddin dengan utusan Soekarno Hatta dari Yogyakarta;Yang berunding ke kapal Renvile adalah orang-orang tawanan Belanda di pulau Bangka yang dipimpin Moh.Roem, sedangkan kekuasaan sah Republik Indonesia dipegang Sjafrudin di dalam daerah republik sendiri di Sumatera Tengah.Kedua mandat yang akan dikembalikan ke Yogyakarta itu tidak pernah sampai ke tangan Sajafrudin. Tidak ada yang akan dipulangkan.
PDRI adalah pemerintahan Republik Indonesia yang sah dan nyata ada, dalam mempertahankan kemerdekaan.Tiap tahun peristiwa ini diperingati, monumennya didirikan di Padang Japang dan juga beberapa prasasti lain di VII Koto Talago yang merupakan basis utama PDRI di Sumatera, seperti di Tobek Godang dan lapangan bolakaki Koto Kociak.
Sjafruddin Prawiranegara menyesalkan kenapa yang diajak berunding orang tawanan, tidak pemegang kekuasaan yang nyata ada PDRI. Natsir pun juga menyesalkan hal perundingan dengan Belanda yang menghasilkan " Roem- Royen Statement " tersebut.

Namun akhirnya Sjafruddin dapat juga menerima alasan-alasan Natsir yang juga menentang "Roem-Royen Statetent" tersebut, setelah Natsir Dt. Sinaro Panjang mengungkap syair; " Tidaklah semua keinginan manusia dapat tercapai, karena angin di lautan tidak selamanya mengikuti kehendak kapal yang sedang berlayar"

Pada tanggal 7 Juli dilakukan rapat umum perpisahan PDRI dengan masyarakat pendukunganya di lapangan sepak bola Koto Kociak, Tujuah Koto Kec. Guguguak, Lima Puluh Kota.
" Waktu mendirikan PDRI kita bukan untuk merebut pangkat dan korsi, karena kita sering duduk di atas lantai saja. Kita tidak mpuas dengan persetujuan Roem-Royen, persetujuan yang dibuat Presiden dan Wakil presiden dengan se akan-akan memandang sepi PDRI. Tetapi buat kita semuanya itu tidak kita persoalkan, karena yang penting ialah kejujuran dan keselamatan rakyat. Siapa yang jujur kepada rakyat dan pada Tuhan , perjuangannya akan selamat. kata Sjafrudin dalam pidato perpisahannya dengan rakyat pendukung PDRI dan para pejuang Perang Kemerdekaan RI ke II.
Natsir berkata pula dalam pidato perpisahannya berupa pantun ; Mendaki ke Gunung alang, Menurun ke Batu Banyak, Nampak nan dari Saruaso, Lah duo kali dilanggar pasang ( Belanda , Jepang ), Namun Tapian indak baranjak, Disinan lataknya Tanago Bangso.;
Mendaki ke gunung Merapi, Menurun ke Tabek Patah, kelihatan dari Koto Tuo; Sudah Tiga kali musim berganti ( Belanda, Jepang, Republik), sudah kita yang memerintah, namun nasib kami tidak berubah.
Tanggal 8 Juli 1949, Sjafrudin bersama Natsir serta rombongannya dilepas resmi masyarakat di Padang Japang dan diantarkan sampai ke garis demarkasi di Guguak Dangung oleh anggota pengaman yang dikomandokan Mayor A. Tahlib.